Selamat Jalan Pak Harto

Jenazah mantan Presiden Soeharto dimasukkan ke liang lahat di Astana Giribangun di Desa Karang Bangun, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pukul 12.20 WIB. Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin upacara pemakaman dan membacakan apel persada.

Suasana mengharukan terjadi saat jenazah diturunkan dan bunga ditaburkan ke liang kubur. Salah satu yang tidak dapat menahan air mata adalah putri Almarhum Siti Hardiyanti Rukmana. Sembari menangis dia menaburkan bunga di atas peti sang ayah untuk kemudian ditutup dengan tanah.

Seluruh prosesi pemakaman selesai pukul 13.10 WIB. Presiden Yudhoyono memberikan penghormatan terakhir sambil meletakkan karangan bunga di atas makam. “Upacara ini diselenggarakan sebagai bentuk penghormatan kepada Almarhum atas jasa dan darma bakti kepada negara semasa hidupnya,” ucap Presiden dalam sambutan setelah jenazah dimakamkan.

Pada kesempatan itu, Mbak Tutut–sapaan Siti Hardiyanti Rukmana–mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan pihak-pihak yang membantu sejak Almarhum dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina hingga dikebumikan di Astana Giribangun. “Kami juga mohon kiranya bapak-bapak dan ibu sekalian berkenan memaafkan segala kesalahan dan kekhilafan almarhum,” harap Tutut. Selamat jalan Bapak. Selamat jalan Pak Harto…

Mantan Presiden Soeharto Meninggal Dunia

JAKARTA – Setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) sejak 4 Januari 2008, mantan Presiden Soeharto akhirnya tak dapat melawan sakit yang dideritanya. Penguasa Orde Baru itu pun menghembuskan nafas terakhir pada Minggu (27/1/2008) pukul 13.10 WIB.

” Pak Harto meninggal dunia pukul 13.10 WIB,” ujar Kapolsek Kebayoran Baru Dicky Sondani, di RSPP, Jakarta, Minggu (27/1/2008)

Soeharto dilarikan ke RSPP pada Jumat (4/1/2008) pukul 14.15 WIB dan mendapat perawatan di ruang president suite VVIP nomor 536 lantai V RSPP. Soeharto dirawat karena mengalami penimbunan cairan di tubuhnya yang mengakibatkan pembengkakkan dan menurunnya kadar darah merah (hemoglobin).

Keadaan Soeharto sempat membaik setelah tim dokter mengeluarkan cairan di tubuhnya. Soeharto masih dapat tersenyum dan berbicara meskipun hanya dalam kalimat-kalimat pendek. Namun kesehatannya kembali mengalami penurunan pada Senin pagi (7/1). Kondisi itu ditandai dengan menurunnya produksi urin dan penumpukan cairan di paru-paru. Selain itu penurunan kondisi kesehatan Soeharto juga ditandai dengan dijumpainya pendarahan melalui urin dan feses sehingga hemoglobin yang awalnya berhasil dinaikan menjadi turun kembali.

Penurunan kesehatan ini, disebabkan tubuh Pak Harto yang mengalami ketergantungan pada alat bantu dan obat-obatan.Tim dokter telah berupaya mengurangi keberadaan alat bantu di tubuh Pak Harto.Langkah tersebut justru membuat kondisi tubuh Pak Harto semakin menurun. Namun seminggu terakhir, kondisi Soeharto dikabarkan berangsur pulih, karena tim dokter berhasil mengendalikan infeksi di tubuh Soeharto

Namun pada Minggu pagi ini, tim dokter menyatakan sejak pukul 01.00 WIB Soeharto mengalami sesak nafas, dan tekanan darah yang mengalami penurunan. Tim dokter juga menyatakan sistem pernafasan Soeharto diabil alih 100% oleh alat bantu pernafasan.Namun akhirnya pada pukul13.10 WIB ini Soeharto tak dapat tertolong lagi.

Soeharto tutup usia di usia ke 86 tahun. Lahir di Kemusuk Argo Mulyo 8 Juni 1921, Ia dilantik sebagai Presiden pada tanggal 27 Maret 1968 dan berkuasa hingga 32 tahun sebelum akhirnya lengser oleh gelombang demonstrasi mahasiswa pada 1998.

Soeharto menikah dengan Suhartini dan memiliki enam orang anak. Yaitu Sigit Harjojudanto, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titik), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).

Ragam Koleksi Cinderamata Pak Harto

 Selama 32 tahun menjabat presiden, Soeharto banyak menerima cinderamata dari berbagai kalangan baik dalam maupun luar negeri. Banyak pimpinan negara asing seperti presiden, perdana menteri, atau tokoh terkemuka dunia lainnya menghadiahi Pak Harto beragam benda.

Cinderamata-cinderamata itu kini tersimpan di Museum Purna Bhakti Pertiwi, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Museum yang didirikan atas inisiatif Ibu Tien Soeharto pada pertengahan 1993 itu memiliki lahan seluas sekitar 21 hektare.

Sebelum memasuki ruang pamer utama museum, pengunjung akan melewati ruang muka berisi ukiran yang menggambarkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Di dalam ruang pamer utama, terpajang koleksi yang berjumlah 12.000 buah mulai dari keramik hingga lukisan.

Penempatan cinderamata ini terbagi dalam beragam kelompok seperti hasil karya seniman dalam atau luar negeri. Lalu ada bagian khusus untuk ukiran perak yang kebanyakan pemberian dari pimpinan negara-negara di Asia atau tokoh masyarakat.

Di bagian lain, ada koleksi berbagai macam batu yang umumnya berasal dari Asia Timur. Ada juga koleksi guci. Salah satu di antaranya pernah dinobatkan sebagai guci tertinggi di dunia. Guci asal Cina itu memiliki tinggi 3,88 meter.

Ada benda yang sering digunakan sebagai latar belakang foto bersama bagi pengunjung Museum Purna Bhakti Pertiwi yaitu ukiran akar pohon karet. Ukiran yang berusia 100 tahun itu merupakan sumbangan dari Jonathan Parapak, mantan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Dari Afganisthan, Presiden Soeharto memperoleh lukisan foto diri dalam permadani dan seperangkat benda kristal.

Bila berkunjung ke museum ini, Soeharto biasa beristirahat di lantai lima. Sedangkan lantai puncak atau lantai ketujuh biasanya digunakan Pak Harto untuk tafakur

Proses Pemakaman Pak Soeharto

Pemerintah membuat dua skenario prosesi pemakaman mantan Presiden Soeharto. Dua skenario itu terungkap dari gladi resik yang digelar di Astana Giribangun sejak pukul 07.30 WIB hingga pukul 09.00 WIB.

Pada skenario pertama, sebelum upacara dimulai, peti jenazah sudah berada di dalam Cungkup Argosari, Astana Giribangun. Kemudian Inspektur Upacara Presiden SBY memasuki kompleks pemakaman.

Komandan upacara kemudian melapor. Setelah itu dibacakan riwayat hidup Pak Harto oleh sesmil. Prosesi dilanjutkan dengan pembacaan apel persada, penurunan peti jenazah dan persiapan pasang sangkur, penghormatan kepada jenazah diiringi tembakan salvo.

Kemudian dilanjutkan dengan acara tabur bunga oleh keluarga. Selanjutnya dilakukan penimbunan liang lahat yang diawali oleh inspektur upacara, keluarga dan petugas makam.

Setelah itu dilakukan pelepasan karangan bunga oleh inspektur upacara dan keluarga. Dilanjutkan dengan sambutan irup dan keluarga. Kemudian pembacaan doa yang dipimpin Menag Maftuh Basyuni.

Selanjutnya dilakukan penghormatan terakhir dan komandan melaporkan upacara selesai. Inspektur upacara kemudian meninggalkan lokasi sambil menyerahkan bendera merah putih dan naskah apel persada kepada keluarga.

Skenario Kedua

Sementara skenario kedua, susunan prosesi pemakaman sama. Hanya saja perbedaannya jenazah belum ada di Cungkup Argosari.

Dalam skenario kedua, jenazah tiba di lokasi diiringi drumband dari personel AD, AU, AL, Koppssus dan Polri. Setelah itu Presiden SBY selaku inspektur upacara memasuki lokasi upacara.

Kemudian disusul prosesi upacara yang sama seperti skenario pertama. Hanya saja di akhir prosesi ada acara pemberian ucapan belasungkawa dari irup sampai seluruh pelayat yang hadir di Astana Giribangun kepada pihak keluarga.

Dari Anak Desa Hingga Menjadi Jenderal Besar

Di Desa Kemusuk, wilayah Godean, Bantul, sekitar 15 kilometer sebelah barat Kota Yogyakarta, Soeharto dilahirkan pada 8 Juni 1921. Ia adalah anak tunggal pasangan Sukirah dan Kertosudiro. Sehari-hari, ayah Soeharto bekerja sebagai pejabat irigasi (ulu-ulu), yang bertanggung jawab membagi air irigasi di berbagai sawah di desa tersebut.

Rumah tempat Soeharto dilahirkan dulunya berdinding bambu. Selain di rumah tersebut, masa kecil Soeharto diwarnai beberapa kali pindah tempat di sejumlah rumah kerabatnya di luar Dusun Kemusuk. Boleh dibilang, hampir tak ada yang istimewa dalam masa kecil dan remaja Soeharto. Pertama, duduk di bangku sekolah menengah pertama pada usia 19 tahun. Selanjutnya Soeharto masuk Sekolah Bintara KNIL (tentara era Pemerintah Kolonial Hindia Belanda) di Gombong, Jawa Tengah, sebelah barat Yogyakarta. Inilah awal karier militer Soeharto yang kelak mendominasi kehidupannya.

Ketika berusia sekitar 26 tahun atau saat berpangkat letnan kolonel, Soeharto menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah–yang kelak populer dengan panggilan Ibu Tien. Siti Hartinah adalah putri Soemoharyomo, seorang wedana di Solo.

Titik penting perjalanan Soeharto tampaknya dimulai pada 11 Maret 1949. Ketika itu Brigade X/Wehrkreise III yang dipimpin Letkol Soeharto menyerang dan berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Peristiwa ini dalam lembaran sejarah, terutama yang ditulis pada era Orde Baru, disebut-sebut sebagai Serangan Umum 1 Maret. Serangan itu membuktikan bahwa Republik Indonesia masih ada.

Karier militer Soeharto kemudian menanjak pada 1 Januari 1960. Pria asal Kemusuk itu dipromosikan menjadi brigadir jenderal. Dan setahun kemudian Soeharto ditunjuk sebagai Komandan Komando Cadangan dan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad). Tahun berikutnya Soeharto terpilih sebagai Komandan Mandala untuk pembebasan Irian Barat (Papua) dari cengkeraman Belanda. Ia pun dipromosikan menjadi mayor jenderal.

Langkah Soeharto menuju tampuk kekuasaan ditandai dengan pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (versi pemerintah menyebutkan G30S/PKI–Red.). Kala itu terjadi percobaan kudeta yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa yang bertugas sebagai pasukan pengawal istana. Buat memuluskan gerakan kudetanya, Untung dan pasukannya menculik enam jenderal dan seorang letnan satu, ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Semua korban penculikan itu kemudian dibunuh dan dikuburkan di sebuah lubang di kawasan Lobang Buaya, Jakarta Timur–daerah pinggiran Bandar Udara Halim Perdanakusuma.

Menghadapi kudeta itu, Soeharto berhasil mengkonsolidasikan TNI AD sekaligus meredam upaya perebutan kekuasaan negara. Dengan memegang Surat Perintah 11 Maret alias Supersemar, Soeharto akhirnya mengumumkan pembubaran Partai Komunis Indonesia dan menyatakannya sebagai partai atau organisasi terlarang.

Setahun kemudian, tepatnya tanggal 22 Februari 1967, Soeharto selaku pemegang Ketetapan MPRS Nomor XXXI Tahun 1967 menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Dalam jangka waktu sekitar sebulan, yakni tanggal 7 Maret 1967, melalui Sidang Istimewa MPRS, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden. Seminggu kemudian Soeharto dilantik menjadi presiden kedua Republik Indonesia.

Adapun dalam mengisi waktu luangnya, Soeharto yang dianugerahi gelar Jenderal Besar TNI itu senang merawat burung beo peliharaannya. Ada suara khas dari beo tersebut, yakni burung itu dapat mengucapkan “Pak Presiden Soeharto”. Dan kini, Smiling General yang memang terkenal dengan senyum khasnya itu telah meninggalkan rakyat Indonesia. Pak Harto–demikian banyak orang kerap menyapanya–meninggalkan enam anak dan beberapa cucu. Selamat jalan Pak Harto.